BAB 5 Abdus Samad bin Abdullah al Jawi al Palimbani dan Nuruddin bin Ali ar Raniri KURIKULUM MERDEKA
c. Jejak dan Langkah Abdus Samad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani
1. Riwayat Hidupnya
Syekh Abdus Samad al-Jawi al-Palimbani dilahirkan di Palembang (kini masuk wilayah Sumatera Selatan) pada tahun 1116 H/1704 M, dan wafat pada tahun 1203 H/1789 M dalam usia 85 tahun. Beliau mendapat pendidikan dasar dari ayahnya sendiri di Palembang atau Kedah (Malaysia). Jika ditelaah dari silsilah, nasab Syekh Abdus Samad berketurunan Arab, dari jalur ayah. Nama ayahnya adalah Syeikh Abdul Jalil, yang merupakan ulama yang berasal dari Yaman, yang dilantik menjadi Mufti Negeri Kedah (kini Malaysia) pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, bernama Radin Ranti, adalah wanita asli Palembang. Sementara, nama panjangnya terdapat 3 versi, yakni: Abdus Samad al-Jawi al-Falembani, Abdus Samad bin Abdullah al-Jawi al-Falembani, dan Sayyid Abdus Samad bin Abdurrahman al-Jawi. Pendidikannya dilanjutkan di salah satu pondok di Negeri Pattani (kini masuk wilayah Thailand Selatan). Saat itu, di Pattani menjadi pusat menempa ilmu-ilmu keislaman, setelah dari Pattani, beliau langsung belajar ke Arab (Makkah dan Madinah). Di Pattani, beliau mendapatkan ilmu-ilmu dasar, seperti hafalan Matan Ilmu-Ilmu Arabiyah, dilanjutkan di bidang Syariat Islam dimulai dengan matan-matan ilmu fiqh yang bermadzhab Imam Syafi’i.
Selanjutnya, di bidang tauhid dimulai dengan menghafal matan-matan ilmu kalam/ushuluddin menurut faham Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja/Sunni) yang bersumber dari Syekh Abul Hasan al-Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur al-Maturidi, karena kecerdasannya saat di Pattani, beliau sudah diperbolehkan sebagai pengajar, meskipun masih sebatas menjadi Mentor atau Tutor. Syekh Muhammad bin Samman menjadi gurunya, Sykh Abdus Samad mendalami juga kitab-kitab tasawuf kepada Syeikh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin al-Sumaterani, kedua-duanya dari Aceh. Sejak kecil, beliau lebih mendalami ilmu tasawuf, maka sejarah mencatatnya sebagai ulama yang memiliki kepakaran dan keistimewaan di cabang ilmu tersebut. Syekh Abdus Samad merupakan salah satu kunci pembuka dan pelopor perkembangan intelektualisme Nusantara Indonesia. Ketokohannya melengkapi nama-nama ulama dan intelektual berpengaruh seangkatannya, misalnya Nuruddin ar-Raniri, Muhammad Arsyad al-Banjari, Hamzah Fansuri, Yusuf al-Makasari, dan masih banyak lainnya.
2. Teladan yang dapat dicontoh
Sesampai di Makkah dan Madinah, semangat belajarnya semakin giat. Ia mmpelahari dan menyerap beberapa ilmu yang belum dikuasai, dan memperdalam ilmu-ilmu yang sudah dikuasainya dari guru dan ulama yang terkenal dengan sebutan Jazirah Arab. Namun, beliau tidak melupakan negeri asalnya. Syekh Abdus Samad tetap memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan keagamaan di Nusantara Indonesia. Beliau mengalami perubahan besar berkaitan dengan intelektualitas dan spiritual. Capaian itu tidak terlepas dari semangat dan proses pencerahan yang diberikan para gurunya. Beberapa gurunya yang masyhur dan berwibawa dalam proses tersebut, antara lain Muhammad bin Abdul Karim al-Sammani, Muhammad bin Sulayman al-Kurdi (Irak), dan Abdul al-Mun´im Damanhuri. Selain itu, tercatat juga dalam sejarah bahwa beliau berguru juga kepada ulama besar yang lain, di antaranya Ibrahim al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad al-Jawhari, dan Athaullah al-Mashri (Mesir). Hasilnya tidak siasia, perjuangannya menuntut ilmu di Masjidil Haram dan tempat-tempat lainnya, mengangkat dirinya menjadi salah seorang ulama Nusantara yang disegani dan dihormati di kalangan ulama Arab, juga Nusantara Indonesia.
Berdasarkan jejak langkahnya, kita menjadi sadar bahwa capaian besar, diperoleh dari ikhtiar dan usaha yang penuh kesungguhan, bertanggung jawab, serta selektif dalam memilih guru. Itu baru usaha lahir, sedangkan usaha dan olah batin tentu tidak dilupakan, baik dari pribadi maupun mohon doa dari para guru-gurunya. Berkat capaian Syekh Abdus Samad, sekali membuktikan bahwa bangsa Indonesia tidak kalah prestasinya dengan bangsa lain di dunia.
3. Karya Tulisnya
Syekh Abdus Samad termasuk pengarang yang produktif. Karyanya yang terkenal dan sampai saat ini masih dipergunakan adalah Hidayatus Salikin dan Siyarus Salikin. Kedua kitab tersebut, merupakan penjelasan dari 2 kitab karya Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, yakni Bidāyat al-Hidāyah dan Lubāb Ihyā` ‘Ulūm al-Dīn.
Adapun kitab dan karyanya yang lain, sebagai berikut:
1) Zahratul Murīd fi Bayāni Kalimah al-Tauhīd, 1178 H/1764 M.
2) Risalah Pada Menyatakan Sebab Yang Diharamkan Bagi Nikah, 1179
H/1765 M.
3) Hidāyatus Sālikīn fī Sulūki Maslakil Muttaqīn, 1192 H/1778 M.
4) Siyārus Sālikīn ilā ‘Ibādati Rabbil ‘Alamīn, 1194 H/1780 M-1203
H/1788 M.
5) Al-‘Urwatul Wutsqā wa Silsilatu Waliyil Atqā.
6) Ratib Sheikh ‘Abdus Shamad al-Falimbani.
7) Nashīhatul Muslimīna wa Tazkiratul Mu’minīna fi Fadhāilil Jihādi wa
Karāmatil Mujtahidīna fī Sabīlillah.
8) Ar-Risālatu fī Kaifiyatir Rītib Lailatil Jum’ah
9) Mulhiqun fī Bayāni Fawaidin Nafi’ah fī Jihādi fī Sabīlillah
10) Zātul Muttaqin fī Tauhidi Rabbil ‘Alamīn
11) ‘Ilmut Tasawuf
12) Mulkhishut Tuhbatil Mafdhah minar Rahmatil Mahdah ‘Alaihis Shalātu
was Salām
13) Kitab Mi’raj
14) Anisul Muttaqin
15) Puisi Kemenangan Kedah
d. Jejak dan Langkah Nuruddin bin Ali ar-Raniri
1. Riwayat Hidupnya
Nama lengkapnya Syekh Nuruddin Muhammad bin ‘Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Jika ditelaah dari namanya, beliau memiliki darah keturunan (nasab) dari suku Quraisy, suku yang juga menurunkan Nabi Muhammad Saw. Ayahnya adalah seorang pedagang Arab yang bergiat dalam pendidikan agama, sedangkan nama populernya adalah Syekh Nuruddin Ar-Raniri atau Syekh Nuruddin, beliau adalah ulama penasehat Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani (Iskandar II). Syekh Nuruddin diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Ranir, wilayah Gujarat India, dan wafat pada 21 September 1658 M. Pada tahun 1637 M, ia datang ke Aceh, dan kemudian menjadi penasehat kesultanan di daerah tersebut sampai tahun 1644 M.
Syekh Nuruddin mula-mula mempelajari bahasa Melayu di Aceh, lalu memperdalam pengetahuan agama saat beribadah haji ke Makkah. Sepulang dari Makkah, didapati bahwa pengaruh Syamsuddin as-Sumatrani sangat besar di Aceh. Karena tidak cocok dengan aliran wujudiyah (salah satu aliran tasawuf), Syekh Nuruddin pindah ke Semenanjung Malaka untuk memperdalam ilmu agama dan bahasa Melayu.
2. Teladan yang dapat dicontoh
Pengetahuan Syekh Nuruddin tak terbatas dalam satu cabang ilmu saja, namun sangat luas yang meliputi bidang sejarah, politik, sastra, filsafat, fikih, dan mistisisme (tasawuf). Beliau adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Peranan Syekh Nuruddin dalam perkembangan Islam di Nusantara tidak dapat diabaikan. Dia berperan membawa tradisi besar Islam sembari mengurangi masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya. Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan Islam di wilayah ini, beliau berupaya menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara. Bahkan, Syekh Nuruddin merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktik sufi yang salah dan benar. Saat baru tiba di Aceh, di wilayah tersebut telah berkembang luas paham wujudiyah. Paham ini dianut dan dikembangkan oleh Syekh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani.
Pada tahun 1637 M, ia kembali ke Aceh dan tinggal selama tujuh tahun. Saat itu Syekh Syamsuddin as-Sumatrani telah meninggal. Berkat keluasan pengetahuannya, Sultan Iskandar Tani (1636 M-1641 M) mempercayainya untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan oleh Syamsuddin. Nuruddin menjabat sebagai Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar, ditambah jabatan sebagai Syekh di Masjid Bait al-Rahmān.
3. Karya Tulisnya
Syekh Nuruddin menulis beberapa buah kitab. Ia juga membaca Hikayat Seri Rama dan Hikayat Inderaputera, yang kemudian dikritiknya dengan tajam, serta Hikayat Iskandar Zulkarnain. Beliau juga membaca Tāj as-Salātīn karya Bukhari al-Jauhari dan Sulālat as-Salātīn yang populer pada masa itu. Kedua karya ini, memberi pengaruh yang besar pada karyanya sendiri, yakni Bustān as-Salātīn. Sebagai ikhtiar menyanggah pendapat dan paham wujudiyah, Syekh Nuruddin menulis beberapa kitab, antara lain Asrār al-‘Ārifīn (Rahasia Orang yang Mencapai Pengetahuan Sanubari), Syarāb al-‘Asyiqīn (Minuman Para Kekasih), dan Al-Muntahi (Pencapai Puncak). Di samping itu, ia juga menyanggah ajaran Hamzah Fanzuri melalui polemik-polemik terbuka dengan para pengikut wujudiyah.
Sesudah berpolemik selama sekitar satu bulan, Syekh Nuruddin terpaksa meninggalkan Aceh untuk kembali ke tanah kelahirannya di Ranir, daerah Gujarat India, sehingga ia tidak sempat menyelesaikan karangannya yang berjudul Jawāhir al-‘Ulūm fī Kasyfi al-Ma‘lūm (Hakikat Ilmu dalam Menyingkap Objek Pengetahuan). Syekh Nuruddin juga menulis beberapa kitab khusus untuk melawan aliran wujudiyah, antara lain Hill az-Dzill (Sifat Bayang-bayang), Syifā alQulb (Pengobatan Hati), Tibyān fī Ma‘rifāt al-Adyān (Penjelasan tentang Kepercayaan), Hujjāt al-Siddiq li Daf az-Zindiq (Pembuktian Ulama dalam Membantah Penyokong Bid’ah), Asrār al-Insān fī Ma‘rifāt ar-Rūh wal arRahmān (Rahasia Manusia dalam Pengenalan Ruh dan Yang Maha Pengasih). Secara keseluruhan, Nuruddin Ar-Raniri menulis sekitar 30 naskah buku, di antaranya adalah:
1) Al-Shirāth al-Mustaqīm
2) Durrat al-Farāid bi syarh al-‘Aqāid an-Nasafiyah
3) Hidāyat al-Hābib fi al Targhib wa’l-Tarhib
4) Bustanus al-Shalathin fī Dzikr al-Awwālin wa al-Ākhirīn
5) Nubdzah fi Da’wah al-Dzill ma’a Shāhibihi
6) Lathā’if al-Asrār
7) Asrāl an-Insān fī Ma’rifāt al-Rūh wa al-Rahmān
8) Tibyān fī Ma’rifat al-Adyān
9) Akhbār al-Ākhirah fi Ahwāl al-Qiyāmah
10) Hill al-Dzhill
11) Ma’u’l Hayat li Ahl al-Mamāt
12) Jawāhir al-‘Ulūm fī Kasyfi’ al-Ma’lūm
13) Aina’l-‘Alam Qabl an-Yukhlaq
14) Syifā’ al-Qulūb
15) Hujjat al-Shiddīq li daf’i al-Zindīq
16) Al-Fat-hu’l-Mubīn ‘a’l-Mulhiddīn
17) Al-Lama’an fi Takfir Man Qala bi Khalg al-Qur’an
18) Shawarim al-Shiddīq li Qath’i al-Zindīq
19) Rahīq al-Muhammadiyyah fī Tharīq al-Shufiyyah
20) Ba’du Khalq al-samawāt wa al-Ardh
21) Kaifiyat al-Shalāt
22) Hidāyat al-Īmān bi Fadhli al-Manān
23) ‘Aqā’id al-Shufiyyat al-MuwahhiddĪn
24) ‘Alaqat Allah bi al-‘Alam
25) Al-Fat-hu’l-Wadūd fī Bayān Wahdat al-Wujūd
26) ‘Ain al-Jawād fī Bayān Wahdāt al-Wujūd
27) Awdhah al-Sabīl wa al-Dalil laisal li Abathil al-Mulhiddīn Ta’wīl
28) Awdhah al-Sabīl laisan li Abathil al-Mulhiddīn Ta’wīl.
29) Syadar al-Mazīd
Belum ada Komentar untuk "BAB 5 Abdus Samad bin Abdullah al Jawi al Palimbani dan Nuruddin bin Ali ar Raniri KURIKULUM MERDEKA"
Posting Komentar