BAB 5 Syekh Abdurauf bin Ali al Singkili Muhammad Sholeh bin Umar al Samarani dan Hamzah al Fansuri KURIKULUM MERDEKA

 e. Jejak dan Langkah Syekh Abdurauf bin Ali al-Singkili


1. Riwayat Hidupnya
Nama populernya adalah Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili (Singkil, Aceh). Tahun lahirnya adalah 1024 H/1615 M, sementara wafatnya di Kuala Aceh, Aceh Tahun 1105 H/1693 M). Beliau adalah ulama besar Aceh, dan memiliki pengaruh besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatra dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Tengku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala). Adapun nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali al-Jawi Tsumal Fansuri as-Singkili. Sebagian riwayat menyebutkan, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Namun, belum dapat dipastikan karena minimnya catatan sejarah, serta tidak didukung nama keluarga yang mencirikan keturunan Arab ataupun Persia. Beberapa ahli berpendapat, beliau merupakan putra asli pribumi beretnis Minang
Pesisir di Singkil yang yang telah menganut agama Islam pada masa itu. Pendapat lain, mengatakan berasal dari etnis Batak Singkil yang beragama Islam yang tidak diketahui lagi marganya.
Pada masa mudanya, mula-mula belajar kepada ayahnya sendiri. Kemudian belajar kepada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses lawatannya, belajar juga kepada banyak ulama di Timur Tengah.

2. Teladan yang dapat dicontoh
Diperkirakan Syekh Abdul Rauf kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M, dan mengajarkan serta mengembangkan Tarekat Syathariah yang diperolehnya. Banyak santri dan murid yang berguru kepadanya, dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatra Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).
Syekh Abdul Rauf menjadi rujukan penting para mubalig yang merintis dakwah ke berbagai daerah di Nusantara. Hal itu sejalan dengan sifat strategis Aceh sebagai poros peradaban Islam di Kepulauan Indonesia. Saat itu, Aceh merupakan tempat persinggahan para calon jamaah haji asal Sumatra, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain. Disebabkan peran besar tersebut, Syekh Abdul Rauf dapat dikatakan sebagai Poros sejumlah ulama Nusantara. Salah seorang muridnya adalah Syekh Burhanudin Ulakan (1646 M-1692 M). Setelah belajar di Aceh, mubalig asal Pariaman itu berangkat ke Tanah Suci. Sepulangnya dari Haramain, dia mendirikan surau di Ulakan. Jasanya yang paling dikenang adalah mendakwahkan Islam kepada kaum bangsawan Kerajaan Pagaruyung. Murid lainnya adalah Syekh Abdul Muhyi. Mubaligh asal Jawa Barat itu pernah bermukim di Aceh, untuk kemudian berangkat ke Tanah Suci untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Sempat pula dia berkunjung ke Baghdad (Irak)
untuk berziarah ke makam Syekh Abdul Qadir Jailani (1077 M-1166 M).
Sepulangnya dari rihlah keilmuan itu, Abdul Muhyi menyebarkan dakwah Islam, termasuk tarekat Syathariyah, di Jawa Barat. Tokoh berikutnya adalah Abdul Malik bin Abdullah (1678-1736) dari Semenanjung Melayu dan Dawud al-Jawi ar-Rumi. Keduanya juga berangkat ke Tanah Suci untuk beribadah haji sekaligus pengembangan keilmuan.
Akhirnya kiprah Abdul Malik banyak di bidang syariat dan fikih. Sementara, Dawud al-Jawi yang diduga berasal dari Turki, dijadikan sebagai wakil utama dari tarekat Syathariyah sepeninggal wafatnya Syekh Abdur Rauf.

3. Karya Tulisnya
Menurut Azyumardi Azra (Akademisi UIN Jakarta) menyatakan bahwa banyak karya-karya Syekh Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:
1) Mir’at al-Thullāb fī Tasyil Mawā’iz al-Badî’rifat al-Ahkām al-Syar’iyyah li Mālik al-Wahhāb, karya     ini berisi tentang bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
2) Tarjuman al-Mustafīd, merupakan naskah pertama Tafsir Al-Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
3) Terjemahan Hadits Arba’in karya Imam al-Nawawi, ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
4) Mawā’iz al-Badī’, berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaa akhlak.
5) Tanbīh al-Masyi, merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
6) Kifāyat al-Muhtajin ilā Masyrah al-Muwahhidīn al-Qāilīn bi Wahdatil Wujūd, memuat penjelasan         tentang konsep wahdatul wujud.
7) Daqāiq al-Hurf, pengajaran mengenai tasawuf dan ilmu kalam (akidah).

Di antara karya besar Syekh Abdu Rauf adalah Tarjuman al-Mustafīd. Itulah terjemahan dan tafsir Al-Qur’an pertama dalam bahasa Melayu. Kitab tersebut banyak dipengaruhi karya Abdullah bin Umar bin Muhammad Syairazi al-Baidawi (w. 1286 H), yakni Tafsir Anwār al-Tanzil wa Asrār alTa’wīl, yang dalam bahasa Arab dan memang sudah legendaris di penjuru dunia.
Namun, karya tulis syekh asal  Aceh itu juga tidak kalah terkenal. Sebagai contoh, Tarjuman al-Mustafīd diketahui pernah terbit pada 1884 M/1885 M dalam edisi dua jilid di Istanbul, Turki. Adapun karya-karyanya yang lain juga menjadi bacaan penting, baik oleh alim  ulama maupun sultan-sultan Melayu. Di samping itu, mubalig kelahiran Singkel ini, juga kerap memanfaatkan sastra sebagai medium penyebaran gagasan sufistik. Sebuah syair karyanya yang terkenal adalah Syair Ma’rifat yang salinannya ditulis di Bukittinggi pada tahun 1859 M.

f. Jejak Langkah Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani


1. Riwayat Hidupnya
Di kalangan ulama atau masyarakat awam, orang sering menyebutnya dengan nama Mbah Sholeh Darat. Kata “Darat” pada akhir nama beliau, disebabkan beliau tinggal di daerah yang bernama Darat, yaitu suatu daerah di pantai utara Semarang. Saat ini, daerah Darat termasuk wilayah Semarang Barat. Mbah Sholeh Darat dilahirkan di desa Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, sekitar 1820 M. Sementara, informasi yang lain menyebutkan, beliau lahir di Dukuh Kedung Cumpleng, Desa Ngroto, Kecamatan Mayong, Jepara. Beliau wafat di Semarang pada 28 Ramadan 1321 H/18 Desember 1903 M.  Nama lengkapnya adalah Al-’Alim Al-’Allamah Asy-Syaikh Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani al-Jawi asy-Syafi’i. Jika dari namanya yang panjang, mengindikasikan bahwa beliau merupakan seorang Ulama Besar di Jawa. Nama Ayahnya adalah Kiyai Umar yang merupakan salah seorang pejuang dan orang kepercayaan Pangeran Diponegoro di Jawa Bagian Utara Semarang. Hasil didikan Mbah Sholeh Darat, dapat ditelusuri dari nama-nama berikut ini, yang merupakan tokoh-tokoh besar Indonesia, antara lain:
Hadratu Syekh KH Hasyim Asy’ari (Pendiri NU),  
KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), 
KH Amir Idris (pekalongan), 
KH Dahlan Tremas,
KH Dimyathi Tremas, 
KH Dalhar Watucongol (Magelang).
Selanjutnya, KH Bisri Syansuri (Jombang), 
KH Kholil (Lasem Rembang),
KH Sya’ban (semarang), 
KH Abdus Syakur Senorita (Tuban), 
KH Yasir Jekulo (Kudus), 
dan KH Thoyib (Mranggen Demak). 
termasuk hasil didikan beliau adalah tokoh emansipasi wanita Indonesia, yakni R.A. Kartini.

Kiai Sholeh juga menjadi salah satu pengajar di Makkah. Muridnya berasal dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Jawa dan Melayu. Hal ini tentu membanggakan, kita sebagai generasi penerus telah disuguhi banyak tokoh besar Indonesia, karena itu menjadi kewajiban kita untuk dapat mencontoh dan meneladani capaian dan keberhasilan mereka, baik di level nasional, regional maupun mancanegara.

2. Teladan yang dapat dicontoh
Kiai Sholeh Darat menimba ilmu di pesantren-pesantren pada zamannya, beliau banyak berjumpa dengan kiai-kiai masyhur yang dikenal memiliki kedalaman serta keluasan ilmu batin (tasawuf), yang kemudian dijadikan sebagai gurunya di Nusantara Indonesia, antara lain KH. M. Sahid yang merupakan cucu dari Syaikh Ahmad Mutamakkin, seorang ulama besar dari daerah Pati Jawa Tengah sekitar abad ke-18. Beliau juga berguru kepada KH. Syahid Waturoyo, KH. Muhammad Shaleh Asnawi (Kudus), KH. Haji Ishaq Damaran, KH Abu Abdillah Muhammad Hadi Baguni, KH Ahmad Bafaqih Ba’alawi, dan KH Abdul Ghani Bima.
Beliau juga menimba ilmu ke gurunya yang di mancanegara, khususnya di wilayah Hijaz (Jazirah Arab Saudi Arabia), antara lain Syeikh Muhammad al-Muqri, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Ahmad Nahrowi, Sayid Muhammad Saleh bin Sayid Abdur Rahman Az-Zawawi, Syeikh Zahid, Syeikh Umar asy-Syami (Suriah dan Palestina) Syeikh Yusuf al-Mishri (Mesir). Berdasarkan penjelasan tersebut, banyak hal yang dapat dicontoh dari Syekh Shaleh Darat, antara lain:
a) Pengembaraan ilmunya melalui guru atau ulama yang sudah masyhur, berguru kepada ulama yang     bukan sekedar dalam ilmunya, tetapi juga memiliki sangat baik amal ibadah dan akhlak yang dimiliki     guru-gurunya.
b) Tidak puas hanya menimba ilmu ulama dari Nusantara, tetapi sampai ke mancanegara, khususnya     negara-negara di kawasan Timur Tengah, karena pusat Islam pada waktu adalah di wilayah-wilayah     tersebut.
c) Beliau juga mendidik wanita-wanita muslim, terbukti beliau berhasil melambungkan nama RA.     Kartini menjadi tokoh emansipasi wanita Indonesia, padahal pada waktu itu Nusantara masih di bawah
    cengkeraman penjajah Belanda yang umumnya menjadikan wanita sebagai warga “‘kelas dua”.

3. Karya Tulisnya
Syekh Kyai Sholeh Darat termasuk ulama yang produktif, banyak karya lahir darinya. Di antara kitab atau karya tulis beliau adalah:
1) Kitab Munjiyat, tentang tasawuf, ringkasan dari penjelasan kitab Ihya’ `Ulum ad-Din karangan Imam     al-Ghazali.
2) Syarh Kitab al-Hikam, juga tentang tasawuf, merupakan penjelasan dari kitab al-Hikam karangan     Syekh Ibnu Atha’illah al-Askandari.
3) Latha’if at-Thaharah tentang hukum bersuci.
4) Kitab ash-Shalah, membicarakan tata cara mengerjakan shalat.
5) Tarjamah Sabil al-`Abid `ala Jauharah at-Tauhid, menjelasakan akidah Ahli Sunnah wal Jamaah     dengan mengacu Imam Abul Hasan al-Asy`ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
6) Mursyid al-Wajiz, kandungannya membicarakan tasawuf atau akhlak.
7) Minhaj al-Atqiya’, juga tentang tasawuf dan akhlak.
8) Kitab Hadis al-Mi’raj, tentang perjalanan Nabi Muhammad s.a.w untuk menerima perintah shlata     fardhu.
9) Kitab Asrar al-Shalah, kandungannya membicarakan rahasia-rahasia shalat.
10) Faid ar-Rahman fi Tarjamah Tafsir al-Kalam al-malik al-Dayyan yang merupakan  tafsir pertama di     Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Dan kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada         R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seroang Bupati Rembang.
11) Kitab Manasik al-Haj wa al-Umrah wa Adab al-Ziyarah li Sayyid alMursalin. Kitab ini, membahas     ibadah haji dan umrah yang berisi 64 halaman dengan 17 topik yang dikupas dimulai dari bab Kitab     Haj wa al-Umrah hingga al-Khatimah (penutup). Kitab ini diterbitkan di Bombai India pada tahun         1340 H/1922 M.
12) Kitab Majmu’ah al-Syari’ah al-Kafiyah li al-’Awam. Isinya hampir mirip dengan karyanya yang terdahulu, yakni tentang haji. Kitab ini diterbitkan oleh penerbit Karya Toha Putra Semarang, sayangnya tidak ditemukan tahun kapan diterbitkan.

g. Jejak dan Langkah Hamzah al-Fansuri


1. Riwayat Hidupnya
Nama populernya Syekh Hamzah Fansuri, atau Hamzah al-Fansuri. Nama al-Fansuri sendiri berasal dari Arabisasi kata Pancur, sebuah kota kecil di pantai Barat Sumatra yang kini terletak antara Singkil (Aceh) dan Sibolga (Sumatra Utara). Merujuk zaman Kerajaan Aceh Darussalam, kampung Fansur itu terkenal sebagai pusat pendidikan Islam di bagian Aceh Selatan. Beliau berasal dari Barus (saat ini di provinsi Sumatera Utara). Di jaman itu, wilayah Barus sering disinggahi para saudagar dan musafir dari mancanegara. Bahkan, disebut oleh Sastrawan Abdul Hadi, signifikansinya sudah tercantum dalam naskah sejarah Yunani Kuno yang ditulis pada abad kedua sebelum Masehi (SM). Namun, ada pula yang berpendapat lain, bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di Ayuthia, ibukota lama kerajaan Siam (Thailand). Seperti pendapat Syed Naguib al-Attas, bahwa keluarganya memang berasal dari Barus, tetapi dirinya sendiri lahir di Syahr Nawi, yakni Ayuthia, ibu kota Kerajaan Siam yang berdiri pada 1350. Sepanjang hayatnya, Syekh Hamzah Fansuri tidak hanya fasih berbahasa Melayu, tetapi juga Jawa, Siam, Hindi, Arab, dan Persia. Bahasa Arab dan Persia merupakan bahasa penting pada abad ke-16. Saat itu, di Barus sudah berkembang suatu dialek bahasa Melayu yang unggul, di samping dialek Malaka dan Pasai. Oleh karena itu, bahasa Melayu yang dipakai Hamzah Fansuri dalam karya-karyanya dapat dianggap contoh terbaik ragam bahasa Melayu.

2. Teladan yang dapat dicontoh
Sepanjang hayatnya, Syekh Hamzah Fansuri tidak hanya fasih berbahasa Melayu, tetapi juga Jawa, Siam, Hindi, Arab, dan Persia. Bahasa Arab dan Persia, merupakan bahasa penting pada abad ke-16, termasuk mengenai tasawuf Islam. Di Barus pada masa itu, sudah berkembang suatu dialek bahasa Melayu yang unggul, di samping dialek Malaka dan Pasai. Oleh karena itu, bahasa Melayu yang dipakai Hamzah Fansuri dalam karya-karyanya dapat dianggap contoh terbaik ragam bahasa Melayu Barus. Semua pegiat Sastra Nusantara menyebut bahwa Hamzah Fansuri adalah penyair agung di rantau Sumatera. Disebutkan oleh A Teeuw, ketika Valentijn (seorang sarjana Belanda) mengunjungi Barus pada 1706, ia membuat catatan yang menunjukkan kekagumannya kepada sang penyair. ‘’Seorang penyair Melayu, Hamzah Pansur, adalah sosok terkemuka di lingkungan orang-orang Melayu, karena syair dan puisinya yang menakjubkan. Kita dibuat dekat kembali dengan kota kelahiran sang penyair, jika mengangkat naik timbunan debu kebesaran dan kemegahan masa lampau,’’ tulis Valentijn.

3. Karya Tulisnya
Syekh Hamzah Fansuri merupakan figur penting dalam sejarah kebudayaan Melayu-Indonesia. Kemasyhurannya meliputi banyak bidang, yakni kesusastraan, tasawuf, dan dakwah Islam. Namun, sedikit sekali yang dapat memastikan detail riwayat hidup sang perintis tradisi penulisan syair berbahasa Melayu itu. Berikut ini, sedikir rincian karya beliau yang terkait dengan kesusatraan Melayu:
Syair Hamzah Fansuri terdiri atas 13-21 bait. Setiap bait terdiri atas empat baris, yang berima a-a-a-a. Pada umumnya jumlah kata tiap baris ada empat, meskipun terdapat pengecualian. Syair Hamzah al-Fansuri banyak dipengaruhi puisi-puisi Arab dan Persia (seperti rubaiyat karya Umar Khayyam), namun tetap ada perbedaan, yakni: Rima Rubaiyat adalah a-a-b-a, sedangkan Hamzah al-Fansuri memakai rima a-a-a-a
Selanjutnya, jika ditelaah dari segi tema setiap syair yang dikarang Hamzah al-Fansuri, lebih banyak membahas tentang aspek tasawuf. Hal ini, dikarenakan bidang lain yang diminati adalah tasawuf, selain sastra dan dakwah Islam.
Hamzah Fansuri banyak melakukan kreasi atau inovasi baru, yang sebelumnya tidak dikenal dalam sastra Melayu lama. Misalnya, memperkenalkan bentuk puisi baru untuk mengekspresikan diri. Inovasi lain adalah pemakaian bahasa yang kreatif. Hamzah Fansuri tidak segansegan meminjam kata-kata dari bahasa Arab dan Persia dalam puisinya.
Adapun karya-karya Syekh Hamzah Fansuri yang sampai saat ini masih dapat ditelaah, dikaji dan dinikmati adalah:

Kelompok Puisi
1) Syair Burung Unggas
2) Syair Dagang
3) Syair Perahu
4) Syair Si Burung pipit
5) Syair Si Burung Pungguk
6) Syair Sidang Fakir

Kelompok Prosa
1) Asrār al-‘Ārifīn
2) Sharab al-‘Āsyikīn
3) Kitab al-Muntahi/Zinat al-Muwahidīn

Belum ada Komentar untuk "BAB 5 Syekh Abdurauf bin Ali al Singkili Muhammad Sholeh bin Umar al Samarani dan Hamzah al Fansuri KURIKULUM MERDEKA"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel