APERSEPSI BAB 5 Meneladani Jejak Langkah Ulama Indonesia yang Mendunia KURIKULUM MERDEKA
Peran Ulama di Nusantara
“Ulama tak cuma berperan dalam agama, tetapi juga politik.
Keberadaannya mengukuhkan kekuasaan politik.”
Saat jayanya kerajaan-kerajaan Islam, peran ulama sangat menonjol
sekali dalam pemerintahan yang fungsinya memperkokoh kedudukan
para pemimpin. Khusus di Asia Tenggara, apalagi Nusantara-Indonesia,
hubungan yang erat tersebut bukan hal yang aneh. Contohnya di
Kerajaan Samudera Pasai.
Buku Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX M memaparkan,
di Samudera Pasai, pemerintah menunjuk para ulama sebagai mufti. Hal ini,
berdasarkan informasi Ibnu Batutah yang pernah tinggal selama 15 hari di
Samudera Pasai pada tahun 1345 M. Di bukunya yang berjudul al-Rihlāt, Ibnu
Batutah menyebut fungsi mufti sangat penting dalam kesultanan.
Kerajaan Islam Aceh juga memiliki majelis fatwa yang dipimpin
seorang mufti yang tugasnya menangani persoalan hukum agama.
Kedudukannya di atas kementerian kehakiman. Sistem ini, berlanjut
hingga ke masa pembentukan Kesultanan Samudera Pasai,”
Gambaran lebih jelas, dapat ditelusuri pada abad 16. Misalya
Hamzah Fansuri, yang peninggalannya relatif masih lengkap yang
mencakup biografi dan karya keislaman. Begitu juga, ulama terkemuka
yang meninggalkan karya monumental lainnya seperti: Syamsuddin alSumaterani (w. 1693 M), Nuruddin ar-Raniri (w. 1658 M), Abdul Rauf
al-Sinkili (w. 1693 M), dan Yusuf al-Makassari (w. 1699 M). Selanjutnya,
pada abad 18 muncul Abdus Samad al-Falimbani (w. 1789 M) dan Syekh
Daud al-Fatani (w. 1847 M).
Fungsi lainnya, dari para ulama adalah memberi nasihat spiritual
sekaligus memberi legitimasi politik di tengah rakyatnya yang beralih
menjadi muslim. Ulama juga memegang peran penting dalam menentukan
kehidupan keagamaan. Mereka biasanya sebagai kadi atau penghulu di Jawa.
Lebih jauh tentang lembaga kadi, kita dapatkan lewat catatan
perjalanan wakil khusus Inggris ke Aceh pada 1602 M. Sir James Lancaster,
yang menggambarkan peran penting Hamzah Fansuri, misalnya dia
diangkat raja untuk memimpin perundingan damai dan persahabatan
antara Aceh dan Inggris.
Begitu juga Nuruddin ar-Raniri, pernah menengahi protes keras
Belanda atas regulasi perdagangan kerajaan yang menguntungkan
pedagang Gujarat. Melalui otoritas yang dimiliki, dia berhasil meyakinkan
raja Safiyyatuddin (1641-1675 M), untuk menarik regulasi itu.
Di Jawa, lembaga itu bisa ditemui di Kerajaan Demak. Sultan-sultan
Demak dibantu para ulama. Mereka bertindak sebagai ahlul halli wal
‘aqdi. Lembaga itu menjadi wadah musyawah kerajaan yang punya hak
ikut memutuskan masalah agama, kenegaraan, dan segala urusan kaum
muslimin.
Sunan Giri pernah menduduki ahlul halli wal ‘aqdi. Wewenangnya
antara lain: (1) mengesahkan dan memberi gelar sultan kepada penguasa
kerajaan Islam di Jawa. (2) menentukan juga garis besar politik
pemerintahan. (3) bertanggung jawab di bidang keamanan muslim dan
kerajaan Islam, dan yang terakhir (4) berhak mencabut kedudukan sultan,
bila menyimpang dari kebijakan para wali.
Tak hanya sebagai penasihat raja, para ulama juga menjadi
penerjemah Islam ke dalam sistem budaya Indonesia. Melalui tugas
itu, ulama berkontribusi dalam memberi legitimasi pada budaya politik
Melayu berorientasi kerajaan.
Karya-karya para ulama menjadi sumber legitimasi bagi kerajaan.
Misalnya, ar-Raniri memiliki pandangan yang lebih rinci tentang hubungan
ulama dan raja. Lewat karyanya, Bustan al-Salatin yang ditulis sekitar
tahun 1630 M dan didedikasikan kepada Iskandar Tsani, dia menjabarkan
cara seorang ulama sufi berhadapan dengan isu politik kerajaan.
Ar-Raniri juga menekankan untuk mematuhi raja sebagai kewajiban
agama. Kepatuhan kepada raja sama saja dengan mengikuti perintah
Allah Swt. Melalui cara tersebut, para raja diberikan otoritas politik yang
sah, sehingga harus diakui oleh umat Islam.
Tersimpul bahwa Islam sudah memberi sumbangan bagi pembentukan
kerajaan Melayu-Indonesia pra-kolonial. Semakin mapan ulama dalam
elite kerajaan, makin mantap Islam sebagai ideologi politik kerajaan. Pada
periode itu, tercatat raja-raja seperti Sultan Iskandar Muda dan Iskandar
Tsani di Aceh, Sultan Agung di Mataram, dan Sultan Hasanuddin di
Makassar.
(Artikel tersebut disadur dari tulisan Risa Herdahita Putri | 22 Agustus
2018 dari: https://historia.id/kuno/articles/peran-ulama)
Wawasan Keislaman
1. Indonesia
Cendekiawan dan tokoh-tokoh kenamaan dunia, jika pernah berkunjung atau
singgah di Indonesia (istilah lebih awal adalah Nusantara), pasti memberi
komentar dan penilaian yang baik tentang Indonesia. Hal ini, bisa ditelaah
dari budayanya yang santun, murah senyum, mudah bergaul. Apalagi jika
dikaitkan dengan keindahan alam dan sumber daya yang melimpah.
Luas Nusantara Indonesia, terbentang dari Barat, yakni Sabang (Provinsi
NAD/Nanggro Aceh Darussalam) sampai Timur, yakni Merauke (Provinsi
Papua). Sementara dari Utara adalah Kepulauan Talaud (Provinsi Sulawesi
Utara), sedangkan dari Selatan adalah Pulau Rote (Provinsi Nusa Tenggara
Timur).
Begitu luasnya Indonesia, sehingga bisa disamakan seperti luas Inggris
melampauhi Eropa hingga Irak. Batas Barat Indonesia berada di Grenenwich
London, sedangkan batas Timurnya berada di Baghdad Irak. Sementara,
batas Utaranya di Jerman, sedangkan batas Selatannya berada di Aljazair.
Di wilayah seluas itu, matahari harus terbit sampai 3 kali. Akibatnya,
menimbulkan perbedaan 3 waktu, yakni WIB (Waktu Indonesia Barat), WITA
(Waktu Indonesia Tengah), dan WIT ((Waktu Indonesia Timur). Itu artinya
matahari terbit lebih awal 2 jam dibanding WIB, dan 1 Jam dibanding WITA.
2. Umat Islam Indonesia
Indah nian sikap beragama bangsa Indonesia, terutama sikap umat Islam
Indonesia sebagai mayoritas. Betapa tidak! Tahun 2020, diperkirakan jumlah
penduduk Indonesia sekitar 273,5 juta, sementara pada tahun 2020 ini,
jumlah umat Islamnya berjumlah berjumlah 229 juta jiwa, atau 87,2 %.
Itu artinya, Umat Islam mampu mengayomi saudaranya yang lain (baik
Katolik, Kristen, Hindu, Budha, maupun Konghucu) yang berjumlah 12,8
% (sekitar 44,5 juta). Semuanya hidup rukun dan tenteram membentuk
keindahan berperilaku sebagai bangsa Indonesia yang besar.
Kondisi tersebut, menjadi prestasi yang sangat membanggakan. Tata
perilakunya, mencerminkan ketulusan hati dan kedamaian hidup. Keramahan
dan toleransi, menjadi sikap dan perilaku umat beragama di Indonesia.
Belum lagi, jika dikaji dari sudut pandang keragaman yang lain, misalnya
suku bangsa ada 740; ada 500 etnik yang menggunakan lebih 250 bahasa, dan
jumlah pulaunya + 12.504 (2870 sudah memiliki nama, sementara 9.634 yang
tidak memiliki nama)
Bandingkan dengan negara-negara lain, baik di dataran Eropa, Asia,
Timur Tengah maupun di Amerika. Agamanya boleh jadi sama, hanya
berbeda sedikit sukunya; atau agama dan sukunya sama; bahkan ada yang
agama, bahasa, suku, tanah airnya sama; mereka saling bertikai, berselisih
sampai berperang tidak habis-habisnya, dan itu memakan waktu yang lama,
bahkan tidak berhenti sampai kini.
Membandingkan kondisi tersebut, tentu kita sebagai umat Islam, harus
mensyukuri keadaan di Indonesia, mari bersama anak bangsa yang lain,
untuk saling mempererat persahabatan dan persaudaraan, baik antar agama
(Ukhuwah Islamiyah), sesama anak bangsa (Ukhuwah Wathaniyah), maupun
sesama warga dunia (Ukhuwah Basyariyah).
3. Ulama Indonesia untuk Dunia
Indonesia merdeka tidak lepas dari peran para Ulama Indonesia. Banyak
sekali nama-nama yang dapat kita sodorkan dan menjadi pengingat tentang
jejak mereka dalam memerdekakan Indonesia, yang sudah kita kenal, antara
lain: Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Pangeran Antasari, dan lain
sebagainya.
Namun kali ini, yang akan disajikan adalah para Ulama Indonesia yang
tidak hanya memberi sumbangsih besar untuk Indonesia, tetapi mewarnai wajah
dunia sampai saat ini. Mereka itu, antara lain: Abu Abdul Mu’thi Nawawi alTanari al-Bantani, Syaikh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati al-Makasari,
Abdus Samad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani, Nuruddin bin Ali ar-Raniri,
Syekh Abdurauf bin Ali al-Singkili, Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani,
Hamzah al-Fansuri. Mari kita urai jejak dan langkahnya satu per satu.
“Ulama tak cuma berperan dalam agama, tetapi juga politik.
Keberadaannya mengukuhkan kekuasaan politik.”
Saat jayanya kerajaan-kerajaan Islam, peran ulama sangat menonjol
sekali dalam pemerintahan yang fungsinya memperkokoh kedudukan
para pemimpin. Khusus di Asia Tenggara, apalagi Nusantara-Indonesia,
hubungan yang erat tersebut bukan hal yang aneh. Contohnya di
Kerajaan Samudera Pasai.
Buku Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX M memaparkan,
di Samudera Pasai, pemerintah menunjuk para ulama sebagai mufti. Hal ini,
berdasarkan informasi Ibnu Batutah yang pernah tinggal selama 15 hari di
Samudera Pasai pada tahun 1345 M. Di bukunya yang berjudul al-Rihlāt, Ibnu
Batutah menyebut fungsi mufti sangat penting dalam kesultanan.
Kerajaan Islam Aceh juga memiliki majelis fatwa yang dipimpin
seorang mufti yang tugasnya menangani persoalan hukum agama.
Kedudukannya di atas kementerian kehakiman. Sistem ini, berlanjut
hingga ke masa pembentukan Kesultanan Samudera Pasai,”
Gambaran lebih jelas, dapat ditelusuri pada abad 16. Misalya
Hamzah Fansuri, yang peninggalannya relatif masih lengkap yang
mencakup biografi dan karya keislaman. Begitu juga, ulama terkemuka
yang meninggalkan karya monumental lainnya seperti: Syamsuddin alSumaterani (w. 1693 M), Nuruddin ar-Raniri (w. 1658 M), Abdul Rauf
al-Sinkili (w. 1693 M), dan Yusuf al-Makassari (w. 1699 M). Selanjutnya,
pada abad 18 muncul Abdus Samad al-Falimbani (w. 1789 M) dan Syekh
Daud al-Fatani (w. 1847 M).
Fungsi lainnya, dari para ulama adalah memberi nasihat spiritual
sekaligus memberi legitimasi politik di tengah rakyatnya yang beralih
menjadi muslim. Ulama juga memegang peran penting dalam menentukan
kehidupan keagamaan. Mereka biasanya sebagai kadi atau penghulu di Jawa.
Lebih jauh tentang lembaga kadi, kita dapatkan lewat catatan
perjalanan wakil khusus Inggris ke Aceh pada 1602 M. Sir James Lancaster,
yang menggambarkan peran penting Hamzah Fansuri, misalnya dia
diangkat raja untuk memimpin perundingan damai dan persahabatan
antara Aceh dan Inggris.
Begitu juga Nuruddin ar-Raniri, pernah menengahi protes keras
Belanda atas regulasi perdagangan kerajaan yang menguntungkan
pedagang Gujarat. Melalui otoritas yang dimiliki, dia berhasil meyakinkan
raja Safiyyatuddin (1641-1675 M), untuk menarik regulasi itu.
Di Jawa, lembaga itu bisa ditemui di Kerajaan Demak. Sultan-sultan
Demak dibantu para ulama. Mereka bertindak sebagai ahlul halli wal
‘aqdi. Lembaga itu menjadi wadah musyawah kerajaan yang punya hak
ikut memutuskan masalah agama, kenegaraan, dan segala urusan kaum
muslimin.
Sunan Giri pernah menduduki ahlul halli wal ‘aqdi. Wewenangnya
antara lain: (1) mengesahkan dan memberi gelar sultan kepada penguasa
kerajaan Islam di Jawa. (2) menentukan juga garis besar politik
pemerintahan. (3) bertanggung jawab di bidang keamanan muslim dan
kerajaan Islam, dan yang terakhir (4) berhak mencabut kedudukan sultan,
bila menyimpang dari kebijakan para wali.
Tak hanya sebagai penasihat raja, para ulama juga menjadi
penerjemah Islam ke dalam sistem budaya Indonesia. Melalui tugas
itu, ulama berkontribusi dalam memberi legitimasi pada budaya politik
Melayu berorientasi kerajaan.
Karya-karya para ulama menjadi sumber legitimasi bagi kerajaan.
Misalnya, ar-Raniri memiliki pandangan yang lebih rinci tentang hubungan
ulama dan raja. Lewat karyanya, Bustan al-Salatin yang ditulis sekitar
tahun 1630 M dan didedikasikan kepada Iskandar Tsani, dia menjabarkan
cara seorang ulama sufi berhadapan dengan isu politik kerajaan.
Ar-Raniri juga menekankan untuk mematuhi raja sebagai kewajiban
agama. Kepatuhan kepada raja sama saja dengan mengikuti perintah
Allah Swt. Melalui cara tersebut, para raja diberikan otoritas politik yang
sah, sehingga harus diakui oleh umat Islam.
Tersimpul bahwa Islam sudah memberi sumbangan bagi pembentukan
kerajaan Melayu-Indonesia pra-kolonial. Semakin mapan ulama dalam
elite kerajaan, makin mantap Islam sebagai ideologi politik kerajaan. Pada
periode itu, tercatat raja-raja seperti Sultan Iskandar Muda dan Iskandar
Tsani di Aceh, Sultan Agung di Mataram, dan Sultan Hasanuddin di
Makassar.
(Artikel tersebut disadur dari tulisan Risa Herdahita Putri | 22 Agustus
2018 dari: https://historia.id/kuno/articles/peran-ulama)
Wawasan Keislaman
1. Indonesia
Cendekiawan dan tokoh-tokoh kenamaan dunia, jika pernah berkunjung atau
singgah di Indonesia (istilah lebih awal adalah Nusantara), pasti memberi
komentar dan penilaian yang baik tentang Indonesia. Hal ini, bisa ditelaah
dari budayanya yang santun, murah senyum, mudah bergaul. Apalagi jika
dikaitkan dengan keindahan alam dan sumber daya yang melimpah.
Luas Nusantara Indonesia, terbentang dari Barat, yakni Sabang (Provinsi
NAD/Nanggro Aceh Darussalam) sampai Timur, yakni Merauke (Provinsi
Papua). Sementara dari Utara adalah Kepulauan Talaud (Provinsi Sulawesi
Utara), sedangkan dari Selatan adalah Pulau Rote (Provinsi Nusa Tenggara
Timur).
Begitu luasnya Indonesia, sehingga bisa disamakan seperti luas Inggris
melampauhi Eropa hingga Irak. Batas Barat Indonesia berada di Grenenwich
London, sedangkan batas Timurnya berada di Baghdad Irak. Sementara,
batas Utaranya di Jerman, sedangkan batas Selatannya berada di Aljazair.
Di wilayah seluas itu, matahari harus terbit sampai 3 kali. Akibatnya,
menimbulkan perbedaan 3 waktu, yakni WIB (Waktu Indonesia Barat), WITA
(Waktu Indonesia Tengah), dan WIT ((Waktu Indonesia Timur). Itu artinya
matahari terbit lebih awal 2 jam dibanding WIB, dan 1 Jam dibanding WITA.
2. Umat Islam Indonesia
Indah nian sikap beragama bangsa Indonesia, terutama sikap umat Islam
Indonesia sebagai mayoritas. Betapa tidak! Tahun 2020, diperkirakan jumlah
penduduk Indonesia sekitar 273,5 juta, sementara pada tahun 2020 ini,
jumlah umat Islamnya berjumlah berjumlah 229 juta jiwa, atau 87,2 %.
Itu artinya, Umat Islam mampu mengayomi saudaranya yang lain (baik
Katolik, Kristen, Hindu, Budha, maupun Konghucu) yang berjumlah 12,8
% (sekitar 44,5 juta). Semuanya hidup rukun dan tenteram membentuk
keindahan berperilaku sebagai bangsa Indonesia yang besar.
Kondisi tersebut, menjadi prestasi yang sangat membanggakan. Tata
perilakunya, mencerminkan ketulusan hati dan kedamaian hidup. Keramahan
dan toleransi, menjadi sikap dan perilaku umat beragama di Indonesia.
Belum lagi, jika dikaji dari sudut pandang keragaman yang lain, misalnya
suku bangsa ada 740; ada 500 etnik yang menggunakan lebih 250 bahasa, dan
jumlah pulaunya + 12.504 (2870 sudah memiliki nama, sementara 9.634 yang
tidak memiliki nama)
Bandingkan dengan negara-negara lain, baik di dataran Eropa, Asia,
Timur Tengah maupun di Amerika. Agamanya boleh jadi sama, hanya
berbeda sedikit sukunya; atau agama dan sukunya sama; bahkan ada yang
agama, bahasa, suku, tanah airnya sama; mereka saling bertikai, berselisih
sampai berperang tidak habis-habisnya, dan itu memakan waktu yang lama,
bahkan tidak berhenti sampai kini.
Membandingkan kondisi tersebut, tentu kita sebagai umat Islam, harus
mensyukuri keadaan di Indonesia, mari bersama anak bangsa yang lain,
untuk saling mempererat persahabatan dan persaudaraan, baik antar agama
(Ukhuwah Islamiyah), sesama anak bangsa (Ukhuwah Wathaniyah), maupun
sesama warga dunia (Ukhuwah Basyariyah).
3. Ulama Indonesia untuk Dunia
Indonesia merdeka tidak lepas dari peran para Ulama Indonesia. Banyak
sekali nama-nama yang dapat kita sodorkan dan menjadi pengingat tentang
jejak mereka dalam memerdekakan Indonesia, yang sudah kita kenal, antara
lain: Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Pangeran Antasari, dan lain
sebagainya.
Namun kali ini, yang akan disajikan adalah para Ulama Indonesia yang
tidak hanya memberi sumbangsih besar untuk Indonesia, tetapi mewarnai wajah
dunia sampai saat ini. Mereka itu, antara lain: Abu Abdul Mu’thi Nawawi alTanari al-Bantani, Syaikh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati al-Makasari,
Abdus Samad bin Abdullah al-Jawi al-Palimbani, Nuruddin bin Ali ar-Raniri,
Syekh Abdurauf bin Ali al-Singkili, Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani,
Hamzah al-Fansuri. Mari kita urai jejak dan langkahnya satu per satu.
Belum ada Komentar untuk "APERSEPSI BAB 5 Meneladani Jejak Langkah Ulama Indonesia yang Mendunia KURIKULUM MERDEKA"
Posting Komentar